Menuju Kinerja yang Transformatif
A. Irvinto Dobiariasto
Pernah dimuat di MDI News Agustus 2007
Mewujudkan identitas tim kerja yang sukses bukan bisa diperoleh dengan cara cepat dan instan. Tumbuh kembang sebuah tim memerlukan proses yang panjang. Dalam prosesnya, perkembangan yang positif dalam tim kerja membutuhkan pemberdayaan (transformasi). Wujud pemberdayaannya sendiri terjadi dalam pergulatan, pengalaman, situasi saling percaya, dan proses-proses pendelegasian tugas yang pada akhirnya melibatkan pergeseran atau perubahan fundamental di dalam tim sendiri sehingga tujuan organisasi dapat dicapai.
Untuk sampai ke tujuannya di mana tim dapat berkembang dinamis dibutuhkan kesadaran atas potensi, kemauan dan tindakan berkelanjutan yang mengarahkan kepada hasil yang organisasi inginkan. Hal ini membutuhkan waktu, pengorbanan dan energi yang besar apalagi untuk mengubah kondisi yang terlihat kurang baik (stagnan) seperti ketidakdisiplinan, inkonsistensi, kekakuan dalam tim, budaya perusahaan yang tidak jelas, takut untuk mengambil keputusan, egois, dan lain-lain. Michael Korda menegaskan syarat mutlak untuk meraih kesuksesan adalah selalu mempunyai energi untuk itu (sukses). Artinya fokus menjadi bagian penting untuk menjadikan tim kita berkembang dimana ada saling mendukung antar anggota, antusiasme, saling percaya, budaya perusahaan yang mendarat, dan lain-lain. Jika dibandingkan, ada banyak perbedaan yang muncul antara tim dengan kondisi yang stagnan dan dinamis. Beberapa perbedaan tersebut dapat Anda lihat pada tabel.
Dari penjelasan dalam tabel terlihat bahwa penting sekali mengetahui cara mengkonsentrasikan (fokus) pada hal-hal penting dan tidak menyia-nyiakan untuk hal yang sia-sia.
Untuk mengatasi masalah tim yang stagnan, ada beberapa model perubahan yang disarankan, yaitu mulai menyadari kebiasaan dan tingkah laku jelek atau negatif. Contoh saja, bagaimana bisa terwujud slogan service excellence bagi setiap konsumen yang datang jika personil kita terbiasa jutek dan tidak pernah tersenyum ketika bertransaksi dengan pelanggan. Oleh karena itu, dibutuhkan penyadaran akan tindakannya itu tidak baik dan akibat yang bisa ditimbulkan. Kedua, dengan kemauan membuat keputusan untuk bertindak dan berubah. Keputusan merupakan buah komitmen pribadi yang harus di follow up. Jika diperlukan para leader-nya bisa mengontrol komitmen dan berkomunikasi atas segala masalah yang terjadi. Jangan menutup mata pada perubahan sekecil apapun.
Yang perlu juga dilihat apakah keengganan untuk melakukan service excellence (ramah dan senyum) itu karena sistem di organisasi atau karena masalah-masalah pribadi. Jika karena sistem maka perbaiki dulu sistemnya. Service excellence bisa terjadi kalau dari manajemen puncaknya juga memberikan contoh bukan hanya sekadar jargon. Jika masalahnya dari personal walaupun masih sulit, bisa dicoba untuk belajar dari berbagai media pembelajaran dan pengembangan diri, seperti belajar lewat kaset, video, ikut seminar atau meniru/modelling. Hal ini juga tidak akan langsung terlihat hasilnya karena untuk ramah dalam pelayanan, tahu kebutuhan pelanggannya dan murah senyum itu perlu disiplin dan konsistensi. Yang perlu diingat bahwa jangan pernah berhenti belajar sehingga terbentuk suatu siklus pencapaian tujuan dimana tim kerja bisa memberikan service excellence kepada pelanggan-pelanggannya.
Sebagai penutup, A.E. Hotchner menegaskan dalam tulisannya bahwa "Semua punya batasan, namun bagaimana Anda bisa menemukan batasan, kecuali terus menggali sejauh dan seluas mungkin?" Tidak ada hal yang lebih baik jika tercipta secara mendadak. Gali dan dapatkanlah pengalaman yang mengubah diri kita sehingga mampu mendukung organisasi sampai tercapainya tujuan.
Salam Sukses!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar